Warung Asem Diponegoro

Ketika perang Diponegoro pecah pada tahun 1828, banyak prajurit serta laskar Pangeran Diponegoro yang diletakkan di Batang, khususnya Kyai Surgijatikusumo sebagai Panewu. Panewu sendiri bisa diartikan sebagai abdi yang membawahi sekitar 1.000 prajurit. Kyai Surgijatikusumo bersahabat dengan Kyai Tholabudin yaitu seorang ulama di desa Masin kala itu. Mendengar perjuangan Pangeran Diponegoro lewat Kyai Surgijatikusumo, banyak masyarakat sekitar yang simpati dan mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro.

Kemudian Kyai Surgijatikusumo bersama Kyai Tholabudin menyusun strategi dengan sandi-sandi khusus yang hanya diketahui oleh prajurit serta laskar Pangeran Diponegoro, sehingga tempatnya tidak dicurigai oleh Belanda dan antek-anteknya kala itu. Dengan membangun sebuah warung yang ditanami pohon asem jawa yang ditanam berjajar, bila dirumah diselingi dengan pohon sawo berjajar dan ada sumur yang berada dibelakang sebelah kiri. Ciri-ciri itu yang digunakan untuk mengenali sesama prajurit dan laskar Pangeran Diponegoro.

Warung itu dipergunakan sebagai tempat bertemunya telik sandi Pangeran Diponegoro menyampaikan informasi, sehingga tidak dicurigai oleh Belanda dan antek-anteknya. Seiring berkembangnya jaman, Warung yang ditanami pohon asam jawa berjajar yang sekaligus sebagai sandi atau kode etik bagi prajurit dan laskar Pangeran Diponegoro itu dikenal dengan sebutan WARUNG ASEM. Dan Saat ini tempat warung itu berdiri menjadi sebuah desa dan terus berkembang menjadi salah satu kecamatan di Batang yaitu KECAMATAN WARUNGASEM. 

Tentang ketokohan dan penggunaan sandi menggunakan pohon asem jawa, pohon sawo serta sumur yang ada dibelakang sebelah kiri, juga pernah disinggung dalam pertemuan di Rumah Sogan Pekalongan dengan tema Prajurit dan Laskar Pangeran Diponegoro yang Ada di Pekalongan.


Sedikit cerita ini bersumber dari Uztadz Ramelan (Alm) Masin ketika beliau masih hidup dan menjabat sebagai wakil ketua Paguyuban Tosan Aji Abirawa Kabupaten Batang.

Mbah Hasyim Mengantar Santrinya ke Kajen

Siapa sih yang tak kenal Hadratussyaikh Mbah Hasyim Asy'ari, kakek Gus Dur, pendiri NU, dan "sumber" ilmu dari sejumlah kiai besar di Jawa itu? 

Sudah pasti ada banyak kisah tentang kiai besar ini. Sebagian besar kisah tentang beliau sudah pasti  pernah dituturkan, baik oleh para muridnya atau oleh orang-orang lain yang pernah mengenal sosok ini. 

Tetapi akan selalu ada "little narrative", kisah-kisah kecil tentang Mbah Hasyim yang masih tersembunyi di balik memori para muridnya dan belum diketahui oleh banyak orang.

"Little narrative" tentang Mbah Hasyim itu saya jumpai saat lebaran tahun ini, saat saya "sowan" ke rumah Kiai Muadz Tohir, guru yang mengajari saya bahasa Inggris di Madrasah Mathali'ul Falah, Kajen, Pati, dulu.

Kiai Muadz adalah putera Kiai Thohir bin Nawawi, Kajen. Saat saya berkunjung ke rumahnya Lebaran tahun ini, Kiai Muadz menuturkan sebuah "little narrative" tentang Mbah Hasyim yang saya yakin belum banyak diketahui oleh orang. Kisah yang sangat menarik.

Beginilah kisahnya.

Kiai Thohir, ayahanda dari Kiai Muadz, dulu pernah nyantri di Tebuireng, di bawah asuhan Mbah Hasyim. Dengan kata lain, Kiai Thohir adalah santrinya Mbah Hasyim. 

Beberapa tahun nyantri, Thohir muda belum banyak mengalami perkembangan. Dia tak terlalu pintar menyerap pelajaran dari Mbah Hasyim. Istilah pesantrennya, "dhèdhèl" (not so smart). 

Suatu hari, Mbah Hasyim ada hajat untuk menghadiri undangan dari Kiai Romli di Peterongan, Jombang. Lalu, Mbah Hasyim memanggil santri yang tak terlalu pintar bernama Thohir itu. Mbah Hasyim memintanya untuk menggantikan beliau mengajar kitab Bulughul Maram (kitab kumpulan hadis yang sangat populer di seluruh dunia Islam). 

Tentu saja Thohir muda kaget bukan main dan sekaligus panik. Dia merasa sebagai santri yang bodoh. Dia bahkan merasa belum mampu baca kitab berbahasa Arab. Tetapi dia, tentu saja, tak mungkin menolak perintah guru.

Akhirnya, dengan keringat dingin yang bercucuran, Thohir muda memaksa diri mengajar kitab Bulughul Maram. Yang membuat Thohir muda kaget, ternyata Mbah Hasyim tidak "tindakan" (pergi) mendatangi undangan, malah ikut menunggui dia mengajar. 

Di luar dugaan, Thohir muda, dengan ditunggui Mbah Hasyim, mampu mengajarkan kitab itu dengan lancar. Tentu dia sendiri kaget. Setelah itu, Mbah Hasyim meminta santri Thohir untuk mengajarkan kitab Bulughul Maram.

Kocap kacarita, singkat cerita, Thohir muda menjadi salah satu murid kesayangan Mbah Hasyim.

Saat boyongan ke Kajen, Mbah Hasyim ikut mengantar Kiai Thohir sampai ke rumahnya. Mbah Hasyim, saat itu, ingin "iras-irus" (sekalian) bertemu dengan Mbah Salam, kakak dari Mbah Nawawi. Mbah Nawawi adalah ayahanda Kiai Thohir. Sementara Mbah Salam adalah ayahanda dari Mbah Abdullah Salam, kiai yang sangat dihormati dan dikenal sebagai wali di Jawa Tengah. 

Mbah Hasyim tidak sekedar mengantar Kiai Thohir sampai ke rumahnya di Kajen. Tetapi juga memberikan "suvenir" atau kenang-kenangan berupa tiga kitab hadis besar-besar.

Tiga kitab itu ialah Sahih Bukhari, Syarah Qasthallani (salah satu komentar [syarah] yang terkenal atas Sahih Bukhari) dan Muwatta' (kumpulan hadis karya Imam Malik, pendiri mazhab Maliki). 

Ketiga kitab ini dihadiahkan oleh Mbah Hasyim kepada santrinya yang baru boyongan itu sebagai semacam apresiasi intelektual atas kemampuan Thohir muda. 

Mbah Hasyim tidak sekedar menghadiahkan tiga kitab itu, tetapi juga membubuhkan autograf atau tanda tangan disertai sebuah ucapan.

Mendengar kisah Kia Muadz ini, saya langsung menyergah, "Boleh saya melihat tiga kitab itu, Pak Muadz? Saya ingin sekali melihat tulisan tangan dan tanda tangan Mbah Hasyim." 

Sayang sekali kitab itu tidak disimpan di rumah Kiai Muadz. Melainkan di rumah kakaknya, alm. Kiai Muzammil. 

Dalam hati saya berkata: Suatu saat saya pasti akan mendatangi putera Kiai Muzammil dan melihat sendiri "suvenir" yang dihadiahkan oleh Mbah Hasyim itu.

Ada kisah lain yang dituturkan oleh Kiai Muadz tentang kunjungan Mbah Hasyim ke Kajen itu.

Seperti saya tuturkan sebelumnya, selain ingin mengantar santrinya boyongan ke dusunnya, Mbah Hasyim "karonto-ronto" (bersusah-payah) datang ke Kajen juga untuk bertemu dengan Mbah Salam, paman dari Kiai Thohir.

Usai sowan ke Mbah Salam, dalam perjalanan pulang ke rumah Kiai Thohir, Mbah Hasyim menangis "sesenggukan".  Mbah Nawawi, ayahanda Kiai Thohir, yang menemani Mbah Hasyim sowan ke "ndalem" (rumah)  Mbah Salam, bertanya:

"Kenapa njenengan menangis, Yai?" 

Jawab Mbah Hasyim: Ada satu hal yang tak pernah berhasil saya lakukan tetapi dikerjakan oleh Mbah Salam. Aku iri.

"Apa itu, Yai?" tanya Mbah Nawawi.

"Mbah Salam masih sempat mengajar anak-anak kecil. Padahal beliau itu kiai besar. Sementara saya yang ilmunya tak seperti Mbah Salam tak sempat mengajar anak-anak."

Saat sowan ke rumah Mbah Salam, Mbah Hasyim memang melihat beliau mengajar anak-anak kecil. "Mu'allim al-sibyan," mengutip kata-kata Kiai Muadz.

Saat mengisahkan kisah ini kepada saya, Kiai Muadz menambahkan komentar kecil yang sarat sindiran dan secara ironis bernada "self-mocking". Kata Kiai Muadz, "Sementara kita-kita ini sekarang gengsi jika ngajar anak-anak." 

Mendengar komentar itu, saya tertawa getir. Dalam hati saya berbisik, "Sekarang ini kita memang cenderung jaim!"

Di ujung kisah itu, saya berteriak kepada Kiai Muadz:

"JADI, KIAI MUADZ, MBAH HASYIM PERNAH MENJEJAKKAN KAKINYA DI RUMAH YANG NJENENGAN TINGGALI INI?" 

"Ya," jawab Kiai Muadz lirih. 

Saya langsung menengok ke belakang, dan melihat foto Kiai Thohir tergantung di kamar tamu Kiai Muadz. Dengan bergegas saya langsung minta izin pada Kiai Muadz untuk mengabadikannya di hp saya. 

Jepret. Jepret. Jepret. 

"Ini," kata Kiai Muadz, "adalah foto yang diambil saat ayah saya menjadi pegawai KUA. Tapi ayah saya tak tahan jadi pegawai. Beliau cuma bertahan selama tiga bulan saja." 

Memang "trah" Kiai Thohir adalah trah kiai. Tak cocok menjadi pegawai negeri. 

Mari kita hadiahkan Fatehah untuk Mbah Hasyim, Mbah Salam, Mbah Nawawi, Kiai Thohir dan Mbah Dullah Salam.

Ketentuan 1 Muharam Tahun Baru Hijriyah



Menyambut 1 Muharram 1446 H, masyarakat Indonesia ramai mengadakan tirakatan, terutama di sejumlah daerah di Pulau Jawa. Mereka memanjatkan doa agar segala kehkhilafan dan dosa pada tahun lalu diampuni Allah dan diterima segala amal ibadah, serta memohon perlindungan kepada Allah SWT dari tipu daya syaitan, sehingga hari esok lebih baik dari hari kemarin. Acara ditutup dengan makan-makan, motong tumpeng, bahkan ada yang minum susu dan menulis basmalah dengan jumlah tertentu. Sejak sebelum magrib mereka berkumpul membaca doa akhir tahun, dan setelah magrib membaca doa awal tahun. 

Di tengah-tengah acara tirakatan, atau ada juga yang mendapat kabar setelah acara, bahwa hilal tidak terlihat, sehingga harus istikmal dan 1 Muharram 1446 H jatuh pada Senin 8 Juli 2024. Kenyataan ini menimbulkan sejumlah pertanyaan, apakah acara yang telah dilakukan malam ini sia-sia? Apakah harus mengulang besok lagi? Apakah harus minum susu sebagai tafa’alun meraih kebaikan diulang lagi dan seterusnya.

Sejatinya, tirakatan 1 Muharram merupakan tradisi baik yang telah lama berjalan di Indonesia. Mengadakannya bukanlah suatu kewajiban. Tapi mengisinya dengan doa tentu hal yang positif. Sehingga yang sudah melakukan doa dan minum susu, Alhamdulillah itu bagus. Setidaknya mengisi waktunya dengan bermunajat dan silaturahmi antar warga. Dan itu bernilai pahala disisi Allah. Terkait waktu pelaksanaannya, itu sudah benar menurut hisab. Kalau besok mau doa lagi, juga boleh, malah bagus, dan dapat pahala. Karena besok juga benar berdasarkan istikmal. Dalam kasus ini tidak ada yang salah. Lagi pula di dalamnya tidak ada puasa wajib dan hari raya yang gregetnya tampak di masyarakat, sehingga biasa saja. Perbedaan 1 Muharram adalah hal biasa, sebab 1 Muharram 1 H pun juga terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengatakan 15 Juli 622 M berdasarkan hisab istilahi, dan ada yang 16 Juli 622 berdasarkan hisab hilali atau rukyah.

Menurut data hisab, tinggi hilal di Indonesia berkisar antara 5 derajat 33 menit (Aceh) s.d. 3 derajat 57 menit (Papua Barat Daya). Tinggi hilal telah memenuhi kriteria imkanurrukyah MABIMS yang baru, 3 derajat, juga telah melewati batas minimum elongasi, 6,4 derajat. Sehingga bagi yang meyakini 1 Muharram 1446 H jatuh pada Ahad 7 Juli 2024 M adalah benar berdasarkan hisab dengan kriteria imkanurrukyah; menurut qaul yang mu’tamad dalam Mazhab Syafi’i, boleh (tidak wajib) bagi seorang ahli hisab untuk mengamalkan hisabnya jika dimungkinkan hilal bisa dirukyah. Kebolehan itu juga berlaku bagi orang yang mempercayai ahli hisab tersebut. Dan yang berkeyakinan jatuh pada Senin 8 Juli pun juga benar berdasarkan istikmal atau menggenapkan bulan Dzulhijjah 30 hari karena hilal tidak terlihat.

Syekh Muhammad Yasin al-Fadani, ulama besar Nusantara yang telah menelaah ratusan kitab falak, menyebutkan dalam kitabnya al-Azhar al-Khamilah Syarah Tsamaratil Wasilah:


اعلم أن حكم الشرع على جميع الناس منوط بالرؤية بعد الغروب فيكون الشهر هلاليا و هو مدة ما بين هلالين و لا يكون الشهر الجديد إلا إذا رئي الهلال في أول ليلته و إن وقع الاجتماع بعد الغروب. و أما باعتبار الشخص نفسه فالعبرة بمولد الشهر الحقيقي سواء أمكنت الرؤية أم لا لقول الرماني و الحاسب من يعرف منازل القمر و تقدير سيره فيها, فهذا يشمل إمكان الرؤية و عدمه. فأول الشهر عند الحاسب من الاجتماع و حيث وقع قبل الغروب فالشهر موجود في اعتقاده.


“Ketahuilah, bahwa hukum syariat bagi semua orang tergantung pada rukyah setelah matahari terbenam, maka bulan yang dikehendaki adalah hilali, yaitu rentang waktu antara dua bulan sabit. Dan tidak dinamakan bulan baru kecuali bulan sabit terlihat pada malam pertamanya, meskipun ijtima terjadi setelah matahari terbenam. Adapun bagi individu itu sendiri, yang penting adalah kelahiran bulan yang sesungguhnya, apakah itu hilalnya terlihat atau tidak, sesuai perkataan Al-Rummani, seorang ahli hisab adalah yang mengetahui fase-fase bulan dan memperkirakan pergerakannya. Ini mencakup apakah hilal dimungkinkan terlihat atau tidak. Menurut orang yang ahli hisab, awal bulan terhitung sejak terjadinya ijtima, yang terjadi sebelum matahari terbenam, bagi mereka bulan telah ada (bulan astronomis)”.

Lebih lanjut Syekh Yasin, demikian juga Syekh Zubair Umar al-Jailani, menukil Hasyiyah Ibnu Qosim ala Tuhfatil Muhtaj, bahwa Syihabuddin Ahmad ar-Ramli ditanya seputar kebolehan menggunakan hasil hisab dalam berpuasa, apakah boleh digunakan manakala hilal memang terbukti pasti dan dapat terlihat atau mutlaq tanpa syarat? Maka Imam Ramli menjawab bahwa hasil perhitungan si hasib tersebut mencakup tiga keadaan, yaitu: 1) dinyatakan hilal di atas ufuk meski tidak terlihat, 2) dinyatakan hilal di atas ufuk dan pasti terlihat, dan 3) dinyatakan di atas ufuk dan kemungkinan terlihat.

Hal ini tidak serta merta boleh mengamalkan hisab secara mutlak, menurut Syekh Yasin, sebab maksud hadis shumu li ru’yatihi wa afthiru li ru’yatihi (berpuasalah karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya) itu ditaqdirkan mudhafnya, yaitu li imkan ru’yatihi (karena kemungkinan hilal bisa terlihat). 

Menurut satu riwayat, KH Turaichan Kudus Al-Falaki pernah berujar, untuk persoalan kalender hijriah, tidak mengapa kita mengikuti hisab selama tidak berkaitan dengan puasa dan hari raya; adapun yang berkaitan dengan keduanya, maka yang mu'tamad adalah menggunakan rukyah. Perkataan Mbah Tur ini terkesan bertabrakan dengan ungkapan Syekh Yasin. Namun jika dicermati, teks yang dikomentari Syekh Yasin atas pertanyaan yang diajukan kepada Imam Ramli itu terfokus pada konteks puasa yang merupakan kewajiban umat Islam, bukan secara keseluruhan awal bulan kamariah. Sehingga bisa dikompromikan.

Sehingga, 1 Muharram jika terdapat perbedaan dalam menentukan maka keduanya adalah sama-sama benar berdasarkan ijtihad masing-masing kelompok. Ijtihad jika benar mendapat dua pahala, dan bilamana salah mendapat satu pahala. Maka tidak ada salahnya jika besok kita baca doa akhir dan awal tahun lagi, karena menghimpun dua pendapat, sekaligus keluar dari perbedaan al-khuruj minal khilaf mustahab.

Arah Kiblat

Menghadap kiblat adalah termasuk salah satu syarat sahnya salat kecuali dalam dua keadaan, yaitu pada saat sangat ketakutan dan salat Sunnah...