Polemik Kiblat Masjid al Anwar Pasuruan


    Ramadan 1354 H (1936 M) kala itu, tak ubahnya kebiasaan pada bulan puasa sebelumnya. Para jama’ah Masjid Jami’ Pasuruan memasang “bom” di halaman depan masjid sebagai penanda waktu berbuka tiba. Namun, hal tersebut, justru mengingatkan sejumlah orang atas keganjilan di Masjid Jami’ Pasuruan yang baru saja direnovasi setahun sebelumnya. Di halaman tersebut, ternyata telah berpindah keberadaan mizwalah, sebuah tugu yang dipergunakan untuk menentukan masuknya waktu salat dengan mengacu pada bayangan benda dari sorotan sinar matahari. Pergunjingan di kalangan masyarakat Pasuruan tersebut, bahkan merambat. Tak hanya pada keberadaan mizwalah. Namun, juga terhadap akurasi kiblat masjid jami’ tersebut. Pergunjingan tersebut juga melibatkan sejumlah ulama terkemuka di kota tersebut. Atas kejadian tersebut, Patih Pasuruan yang menjabat kala itu, meminta kepada tiga ulama ahli miqat dan falak untuk memeriksa kebenaran kiblat masjid jami’ tersebut. Dalam surat tertanggal 8 Juli 1936, Patih Pasuruan itu menulis demikian:

“Saja mempermakloemkan, bahwa sesoedahnja boelan Ramadhan jg. baroe laloe ada beberapa orang jg. memberi tahoekan pada saja bahwa waktoe2 di Masdjid Djami’ Pasoeroean sering tidak tjotjok dengan waktoe loear kota, djoeaga ada jg. Bilang jg. Qiblat masdjid koerang sampoerna.”
    Keluhan tersebut ditujukan kepada Sayid Muhammad Al-Athas dari Probolinggo, Kiai Mas Subadar dari Besuk, Pasuruan dan Kiai Abduljalil dari Sidogiri, Pasuruan. Ketiganya, oleh Patih Pasuruan, ditunjuk sebagai komisi guna menentukan akurasi arah kiblat masjid jami’ tersebut. Pada akhirnya, sebagaimana diungkapkan dalam Berita Nahdlatoel Oelama (BNO) yang ditulis secara bersambung pada edisi 11 Tahun VI (1 April 1937), 12 Tahun VI (15 April 1937) dan 13 Tahun VI (1 Mei 1937), ketiga ulama tersebut melakukan pemeriksaan pada 13 Agustus 1936. Saat itu, Patih Pasuruan juga hadir dengan didampingi sejumlah imam masjid jami. Di antaranya adalah KH. Thohir, Kiai Nawawi dan KH. Abdurrachim. Sedangkan Mas Haji Sahal selaku penanggungjawab Pembangunan masjid tak datang dikarenakan ada kesibukan lainnya.

    Gerakan tersebut, mendapat perlawanan oleh orang-orang NU yang menjadi jarna'ah masjid jami' Pasuruan. Mereka kembali mengubah tikar masjid kea rah kiblat versi komisi. Hal tersebut berulang beberapa kali. Kiai Abdurrahman yang notabanenya adalah Rais Syuriyah PCNU Pasuruan, sekaligus sebagai A'wan HBNO yang terpilih pada Muktamar ke-9 NU di Banyuwangi pada 1934 (Lihat SNO, No. 6 Tahun IV, Jumadil Tsani 1353 H), melaporkan kejadian itu kepada Patih Pasuruan yang kala itu sudah diganti orang baru. Kemudian, pada 8 Dzulhijah 1355 (Februari 1937), mengadakan pertemuan dengan 8 orang ulama Pasuruan. Selain Kiai Abdurrahman, dari pengurus NU yang hadir ada juga KH. Choezaimi dan KH. Djoefri.

    Dalam pertemuan tersebut, Patih melakukan voting atas arah kiblat Masjid Jami' Pasuruan. Dalam voting tersebut, ternyata dimenangkan oleh pihaknya Kiai Abdurrahman yang menganggap bahwa arah kiblat tak perlu diubah. Hasil voting tersebut, menimbulkan kekecawaan bagi Kiai Choezaimi dan Kiai Djoefri. Keduanya yang mendukung perubahan arah kiblat, merasa dikerjai dalam pertemuan itu. Sebagai pengurus NU, keduanya merasa tak diajak berembuk terlebih dahulu.


Lantas bagaimana ujung dari polemik tersebut?

    Dari pengukuran tersebut, diketahui bahwa mizwalah di Masjid Jami Pasuruan tidak akurat. Lebih cepat 3 sampai 4 menit. Sedangkan, posisi kiblatnya juga serong sebanyak 3 derajat, bahkan dalam metode ukur lainnya, keserongannya mencapai 5 derajat dari ainul ka'bah. Atas hasil tersebut, maka arah kiblat harus diubah. Kemiringan lebih dari 2 derajat tersebut, melebihi batas toleransi kepresisian kiblat dalam madzhab Syafi'i. Kiai Muhammad bin Yasin yang kala itu masih tinggal di Pasuruan (sebelum pindah ke Jember), lantas menyampaikan kepada masyarakat pada hari itu juga. Kebetulan, setelah Ashar, Kiai Muhammad tersebut sedang mengajar di masjid. Namun, keputusan komisi bentukan Patih Pasuruan itu, ditolak oleh sejumlah kalangan. Di antaranya adalah Kiai Abdullah bin Yasin, adik dari Kiai Muhammad bin Yasin. Pada 9 Oktober 1936, salah seorang imam masjid jami' Pasuruan, KH. Thohir, membacakan surat dari Kiai Abdullah pada saat pelaksanaan salat Jumat.

    Surat tersebut membenarkan jika arah kiblat masjid kurang presisi. Namun, masih berkisar 2 derajat sehingga masih dalam tahap diperbolehkan dan haram hukumnya untuk mengubah arah kiblat. Pengumuman tersebut, menimbulkan kegaduhan baru. Warga terbelah. Ada yang mendukung pendapat Kiai Abdullah, namun juga tak sedikit yang membela pendapat komisi yang awal. Untuk meredam hal tersebut, Kiai Muhammad lantas membuat risalah perihal arah kiblat masjid jami Pasuruan dalam bahasa Arab dan Jawa. Tujuannya, untuk menjelaskan duduk perkaranya hal tersebut.

    Atas upaya tersebut, masyarakat Pasuruan kembali redam. Orang sembayang kembali mengacu kepada arah kiblat yang telah ditentukan oleh komisi bentukan Patih Pasuruan. Akan tetapi, di kemudian hari, KH. Abdurrahman dari Legi, Pasuruan, tiba-tiba mengembalikan tikar masjid ke arah semula sebelum ada perubahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jimat Excel Bagi Hisabiyun

 dear bolo dewe ini ane punya aplikasi excel buat Membuat Tanggalan masehi-Hijri-Pasaran: https://docs.google.com/spreadsheets/d/1AMbnFXBUWq...