Di masa pemerintahan Hindia Belanda, warga Arab beserta keturunannya ditempatkan di kampung Arab yang terletak di kawasan Ampel dan di sepanjang bantaran Kalimas.
Para Migran Arab ke Surabaya umumnya perantau yang berdagang palawija, mebel, kulit, sandal, merjan, minyak wangi, dan kemenyan. Mereka datang secara perorangan tanpa disertai keluarga.
Di Surabaya, para perantau Arab ini karena kesamaan agama dengan penduduk lokal, banyak yang menikahi para gadis setempat hingga melahirkan keturunan yang kelak dikenal dengan sebutan Arab Ngampel.
Keturunan Arab Ngamel ini hanya mengenal bahasa ibunya yakni Bahasa Jawa. Mereka baru mengenal bahasa Arab lebih lanjut ketika ada yang melanjutkan sekolah di Holland Arabisch School. Rupanya ikatan primordial dengan kerabat ibunya lebih dekat dibanding dengan kerabat ayahnya yang nun jauh di jaziarah Arab.
Karena itu pada tahun 1930, para Arab keturunan menuntut untuk dijadikan sama kedudukannya dnegan warga bumi putera yakni sebagai anak negeri Indonesia.
Ada sejumlah makanan khas kampung Arab Ampel seperti kue selong, kue putri mandi, ketan srikaya, kue lumpur, serabi, godir dan banyak lagi. Sedangkan makanan yang paling terkenal dan menjadi kekhasan mereka adalah gulai kacang hijau yang dimakan dengan roti maryam. Menariknya, roti maryam kegemaran warga Arab Ampel ini adalah yang dijual oleh para pedagang Madura. Tatacara makan dan selera makanan mereka tidak jauh berbeda dengan warga bumiputera lainnya.
Pusat pemukiman Arab Ampel ini di sekitar Kampementraat (sekarang Jl KH Mas Masnyur), Jl Panggung dan sekitar Benteng Citadel Prins Hendrik (sekrang jalan Banteng yang di atasnya ada Mesjid Al-Irsyad).
Mereka juga mempunyai tempat hiburan. Dulu ada bioskop Al-Hambra yang terletak di kampung Gili. Pemiliknya seroang konglomerat Arab ternama bernama Baswedan.
Di Jalan Panggung rutin diadakan sandiwrara tonil. Rombongan tonil yang sering main antara lain Grup Tonil Dardabela. Jika mereka datang, maka penonton akan datan berjejal-jejal.
Menurut satu cerita, pernah hadir rombongan tonil dari Belanda. Para pemain tonil ini digandrungi masyarakat karena penampilannya yang hebat. Diantara para pemainnya ada seroang gadis Yahudi yang sangat cantik yang menjadi primadona.
Si gadis Yahudi itu ternyata jatuh cinta pada pemuda Arab yang tinggal di Kampemenstraat. Cintanya disambut pemuda Arab Itu. Ketika rombongan tonil Belanda itu main, menjadi kesempatan mereka bertemu.
Sayangnya hubungan mereka ketahuan dan tidak disetujui pimpingan rombongan tonil. Mereka tidak mau kehilangan sang Primadona. Diputuskan mereka meninggalkan Surabaya sebelum jadwal pertunjukan selesai.
Sang Pemuda Arab setelah kepergian kekasihnya itu mengalami shock dan stress berat, hingga meninggal dunia. Peristiwa itu oleh orang-orang kemudian dikenal dengan sebutan tragedi cinta di jalan Panggung.
Sumber: Surabaya Post, 23-05-1995, hal 12. Koleksi Surat Kabar Langka Salemba – Perpustakaan Nasional RI (Skala-team)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar