Definisi al Dlirar

Definisi al Dlirar

Latar Belakang

Islam tidak menghendaki adanya kemudaratan bagi umatnya, maka kemudaratan itu harus dihilangkan jika ada. Kaidah ini sering diungkapkan dalam hadits Rasulullah SAW

ﻻَﺿَﺮَﺭَ ﻭَﻻَ ﺿِﺮَﺍﺭَ

“Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh dimudaratkan”. (HR. Hakim dan lainnya dari Abu Sa’id al Khudri, HR. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)

Kata “Dharar” menurut bahasa adalah lawan dari bermanfaat, dengan kata lain dapat mendatangkan bahaya atau mudharat jika dikerjakan, baik dampaknya kepada dirinya sendiri ataupun kepada orang lain. Kata “Dhirar” menurut bahasa adalah balasan yang sengaja dilakukan atas kemudharatan yang diterimanya. Artinya membalas atau menimpakan kemudharatan kepada orang lain sesuai dan sama dengan kemudharatan yang menimpanya. Sedangkan kita semua tahu kalau mudharat itu sendiri menurut bahasa adalah kebalikan dari manfaat, atau dapat juga dikatakan bahaya atau merugikan. Pendapat Ulama mengenai perkataan dharar dan dhirar, yaitu sebagai berikut:

  1. Al-Husaini mengartikan mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi bagi tetanggamu ada mudarat”. Dan kata dhirar diartikan dengan ”bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi orang lain.
  2. Ulama lain mengartikan al-dharar dengan membuat kemudharatan dan kata dhirar diartikan membawa kemudharatan diluar ketentuan syariah.

Tujuan dari adanya syariah adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Karena maslahat membawa manfaat dan mafsadat mengakibatkan kemudaratan. Maka terdapat kaidah :

ﺍﻟﻀﺮﺭ ﻳﺰﺍﻝ

“Kemudaratan harus dihilangkan”.

Seperti dikatakan oleh ‘Izzuddin Ibn ‘Abd al-Salam bahwa tujuan syariah itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Apabila diturunkan kepada tataran yang lebih konkret maka maslahat membawa manfaat sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudaratan. Kemudian para ulama lebih memerinci dengan memberikan persyaratan-persyaratan dan ukuran-ukuran tertentu apa yang disebut maslahat.[3] Kaidah tersebut diambil untuk merealisasikan tujuan dari maqashid al-syariah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Ahmad al-Nadwi menyebutkan bahwa penerapan kaidah di atas meliputi lapangan yang luas di dalam fikih bahkan bisa jadi meliputi seluruh dari materi fikih yang ada Contoh-contoh di bawah ini antara lain memunculkan kaidah diatas :

  1. Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
  2. Adanya berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana Islam)  adalah juga untuk menghilangkan kemudaratan.
  3. Aturan-aturan tentang pembelaan diri, memerangi pemberontakan, dan aturan tentang mempertahankan harta milik.
  4. Adanya aturan al-hajr (kepailitan) juga dimaksudkan untuk menghilangkan kemudaratan bagi rakyat.
  5. Adanya lembaga-lembaga eksekutif (haiah tanfidziyah), lembaga legislative (haiah tasyri’iyah, ahl al-halli wa al-‘aqdi), di satu sisi lain juga berfungsi untuk menghilangkan kemudaratan.
  6. Dalam pernikahan adanya aturan talak untuk menghilangkan kemudaratan yang lebih besar dalam kehidupan rumah tangga.
  7. Larangan menghancurkan pohon-pohon, membunuh anak kecil, orang tua, dan wanita, dan orang-orang yang tidak terlibat dalam peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk menghilangkan kemudaratan.
  8. Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri juga untuk menghilangkan kemudaratan.
  9. Larangan murtad dari agama Islam dan larangan mabuk-mabukan juga untuk menghilangkan kemudaratan.

 

B.     Landasan hukum yang mendukung kaidah La Dharara Wa La Dhira ra

Ayat-ayat yang menjadi dasar dari kaidah La Dharara Wa La Dhira ra adalah sebagai berikut :

ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻤْﺴِﻜُﻮﻫُﻦَّ ﺿِﺮَﺍﺭًۭﺍ ﻟِّﺘَﻌْﺘَﺪُﻭ۟...

“Janganlah kamu merujuk mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka” (Q.S Al-Baqarah: 231)

 Adapun hadits Nabi yang menjadi dasar dari kaidah La Dharara Wa La Dhira ra diantaranya adalah :

ﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻤُﺆ ﻣِﻨِﻴْﻦَ ﺩَﻣَﻪُ ﻭَﻣَﺎﻟَﻪُ ﻭَﻋِﺮﺿَﻪُ ﻭَﺍَﻥْ ﻻﻳَﻈُﻦَّ ﺍﻻ ﺍﻟﺨَﻴْﺮَ

Allah mengharamkan dari orang mukmin, darahnya, hartanya dan kehormatannya, dan tidak menyangka kecuali dengan sangkaan yang baik. (HR. Muslim)

ﺍِﻥَّ ﺩِﻣَﺎﺀَﻛُﻢْ ﻭَﺍَﻣْﻮَﺍﻟَﻜُﻢْ ﻭَﺍﻋﺮَﺍﺿَﻜُﻢ ﺣَﺮَﻡٌ

Sesungguhnya darah-darah kamu semua, harta-harta kamu semua, dan kehormatan kamu semua adalah haram di antara kamu semua. (HR. Muslim)

C.    Pengecualian Kaidah La Dharara Wa La Dhira ra

Pengecualian dari kaidah di atas pada prinsipnya adalah :

1.          Apabila menghilangkan kemudaratan mengakibatkan datangnya kemudaratan yang lain yang sama tingkatannya, misalnya A mengambil makanan orang lain yang juga dalam keadaan kelaparan. Hal ini tidak boleh dilakukan, meskipun si A juga dalam keadaan kelaparan.

Dalam ilmu hukum ada contoh yang sangat terkenal yaitu apabila seseorang di tengah lautan ingin menyelamatkan diri dari tenggelam dengan menggunakan sebilah papan. Kemudian datang orang lain juga yang ingin menyelamatkan diri dengan mengambil papan tersebut. Dalam hukum Islam, hal tersebut tidak boleh dilakukan karena tingkat kemudaratannya sama yaitu sama-sama untuk menyelamatkan diri(nyawa) atau yang dikenal dengan (hifzh al-nafs) dalam maqashid al-syariah.

Lain halnya apabila orang yang dalam keadaan kelaparan hampir mati mengambil harta atau buah-buahan di kebun orang lain demi untuk menyelamatkan diri, maka hal ini dibolehkan. Karena kemudaratan membiarkan diri mati (hifh al- nafs) lebih tinggi derajatnya dibanding kemudaratan mengambil harta orang lain (hizh al-mal). Meskipun sudah tentu apabila dia sudah selamat dari kematiannya, diwajibkan mengganti harta yang telah dia makan. Mirip dengan contoh ini adalah ijtihad Umar bin Khattab yang tidak memotong tangan pencuri yang mencuri harta orang lain pada masa kelaparan yang sangat berat.

2.      Apabila dalam menghilangkan kemudaratan menimbulakan kemudaratan lain yang lebih besar atau lebih tinggi tingkatannya.

Contohnya : dilarang melarikan diri dari peperangan karena semata-mata untuk menyelamatkan diri. Alasannya, karena kalah dalam peperangan lebih besar mudaratnya daripada menyelamatkan diri sendiri. Selain itu, dalam peperangan, hukum yang berlaku sesuai dengan Al-Qur’an, “fa yaqtuluuna wa yaqtuluuna” (Q.S at- Taubah: 111) (membunuh atau dibunuh/to kill or to be killed). Jadi terbunuh dalam peperangan adalah risiko, hanya bagi mukmin ada nilai tambah yaitu mati syahid apabila terbunuh dalam peperangan.

3.      Dalam menghilangkan kemudaratan, dilarang melampaui batas dan betul-betul tidak ada jalan kecuali melakukan perbuatan yang dilarang itulah satu-satunya jalan. Seperti menyelamatkan diri dari kematian, terpaksa makan makanan yang haram. Itupun dilakukan hanya sekadarnya agar tidak mati. Harus diusahakan dahulu jalan lain yang dibolehkan, kecuali apabila tidak ada lagi alternative, maka itulah satu-satunya jalan.

Peperangan itu adalah suatu kemudaratan, Islam yang cinta damai, tidak mau memulai perang sebelum ada yang terbunuh. Apabila telah ada yang terbunuh, mayatnya ditampakkan kepada musuh dan dikatakan kepada mereka, “Tidak adakah jalan yang lebih baik dari ini ?”.[6] Ini semua adalah upaya dalam menghindari kemudaratan.

D.    Cabang Kaidah La Dharara Wa La Dhira ra

Kaidah-kaidah yang merupakan cabang dari kaidah “al-dharar yuzal”, antara lain :

1.                                                                اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

Kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”

Di kalangan ulama ushul, yang dimaksud dengan keadaan dharurat yang memenuhi syarat sebagai berikut :

Pertama, kondisi darurat itu mengancam jiwa dan/atau anggota badan. Hal ini berdasarkan ayat al-quran surat Al-baqarah :177, Al-maidah :105, Al-anam :145, artinya menjaga jiwa (hifzh al-nafsh). Tampaknya, semua hal yang terlarang dalam rangka mempertahankan maqashid al-syariah termasuk kondisi darurat dalam arti apabila hal tersebut tidak dilakukan maka maqasid al-syariah terancam, seperti bolehnya memukul orang yang akan merebut harta milik kita.

Kedua, keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.

Ketiga, tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.

2.                                                                              الضرورات تقدربقادره

           " Keadaan darurat, ukurannya ditentukan menurut kadar kedaruratannya”

مَااُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا

“Apa yang dibolehkan karena darurat diukur sekadar kedaruratannya”

Kedua kaidah diatas sesungguhnya membatasi manusia dalam melakukan yang dilarang karena kondisi darurat. Seperti telah dijelaskan bahwa melakukan yang haram karena darurat tidak boleh melampaui batas, tapi hanya sekadarnya. Contoh: Seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang diobatinya sekadar yang diperlukan untuk pengobatan, itupun apabila tidak ada dokter wanita. Orang yang kelaparan hampir mati hanya boleh makan yang haram sekadar menyelamatkan diri dari kematian, tidak boleh makan sampai kenyang.

3.                                                                ا الضر ريز ال بقد ر الا مكا ن

“Kemudaratan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan”

Tindakan Abu Bakar dalam mengumpulkan Al-qur’an demi terpeliharanya Al-qur’an; usaha damai agar tidak terjadi perang; usaha kebijakan dalam ekonomi agar rakyat tidak kelaparan adalah diantara contoh penerapan kaidah tersebut.

4.                                                                          الضررلايزال باالضرر

“Kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan lagi”

Kaidah ini semakna dengan kaidah:

الضررلايرال بمثله 

“Kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan yang sebanding”

   Maksud dari kaidah itu adalah kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudaratan lain yang sebanding keadaannya. Misalnya, seorang debitor tidak mau membayar utangnya padahal waktu pembayarannya sudah habis. Maka, dalam hal ini tidak boleh kreditor mencari barang debitor sebagai pelunasan terhadap utangnya. Contoh lain seperti orang yang sedang kelaparan tidak boleh mengambil barang orang lain yang juga sedang kelaparan.

5.                                                                                      يحتمل الضررالخاص لاجل الضررالعام  

“Kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan yang bersifat umum”

Contoh penerapan kaidah ini banyak sekali, diantaranya:

a)      Boleh melarang tindakan hukum seseorang yang membahayakan kepentingan umum. Misalnya, memfailitkan suatu perusaan demi menyelamatkan para nasabah.

b)      Menjual barang-barang debitor yang sudah ditahan demi untuk membayar utangnya kepada kreditor.

c)      Menjual barang-barang timbunan dengan cara paksa untuk kepentingan umum.

d)      Boleh memenjarakan orang yang menolak memberikan nafkah kepada orang-orang yang wajib dinafkahinya.

Semakna dengan kaidah ini adalah kaidah:

اِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ اَخَفَّهِمَ

“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar mudaratnya dengan mengerjakan yang lebih ringan mudaratnya”

Contohnya: dibolehkan seorang dokter mengoperasi wanita yang meninggal sedang mengandung demi menyelamatkan bayi yang masih hidup dalam perutnya. Apabila si ibu masih hidup, maka mengoperasi ibu yang sedang hamil boleh dilakukan meskipun mengakibatkan bayi yang dalam perutnya meninggal. Dalam hal ini, membiarkan si ibu meninggal lebih memudaratkan ketimbang bayi yang ada dalam perutnya .

6.                                                                                  الضررالاشديزال باالضررالاخف

“Kemudaratan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudaratan yang lebih ringan”

Kaidah ini biasanya disingkat:

الاخذ باخف الضررين

“Mengambil yang mudaratnya lebih ringan”

يحتمل الضرراالخاص لد فعالضررالعا

Contohnya: apabila tidak ada yang mau mengajarkan agama, mengajarkan Al-qur’an dan Al-hadis dan ilmu yang berdasarkan agama kecuali digaji, maka boleh menggajinya. Contoh lainnya: sanksi-sanksi yang diterapkan yang berhubungan dengan maksiat (kejahatan) baik berupa sanksi hududqisosdiat, dan tajir, semuanya berkaitan dengan kaidah tersebut.        

7.                                                                                                                                                                                   الضررلايكون قديما                      

“Kemudaratan itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi”

Maksudnya adalah kemudaratan itu harus dihilangkan dan tidak boleh dibiarkan terus berlangsung dengan alasan kemudaratan tersebut telah ada sejak dahulu. Contohnya: boleh melarang dosen yang punya penyakit darah tinggi yang parah untuk mengajar. Larangan ini tidak bisa dibantah dengan alasannya penyakitnya sudah lama. Contoh lainnya: air mengalir ke jalan raya dan sudah lama terjadi, maka air tersebut harus dialirkan ke tempat lain. Singkatnya, meskipun sudah lama terjadi, kemudaratan harus tetap dihilangkan.

8.                                                     الحاجة تنزل منزلة الضرورة عا مة كان اوخاصة             

“Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus”

Al-hajah adalah suatu keadaan yang menghendaki agar seseorang melakukan perbuatan yang tidak menurut hukum yang seharusnya berlaku, karena adanya kesukaran dan kesulitan. Perbedaan antara Al-dharurat dan Al-hajah adalah: pertama, didalam kondisi Al-dharurat, ada bahaya yang muncul. Sedangkan dalam kondisi Al-hajah, yang ada hanyalah kesulitan dan kesukaran dalam pelaksanaan hukum. Kedua, didalam Al-dharurat, yang dilanggar perbuatan yang haram Lidzatihi seperti makan daging babi. Sedangkan dalam Al-hajah, yang dilanggar adalah haram Li ghyrihi

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arah Kiblat

Menghadap kiblat adalah termasuk salah satu syarat sahnya salat kecuali dalam dua keadaan, yaitu pada saat sangat ketakutan dan salat Sunnah...