Jimat "Pengasihan Asikin"



Banten dulu adalah salah satu kesultanan di Nusantara yang tercatat pernah berpengaruh dari mulai Kerawang hingga negeri Malabar India di saat kepemimpinan Sultan Abul Mafakhir Abdul Qodir Kenari, penguasa Banten pertama yang diberi gelar Sultan dan kuat jalinan konektifitasnya dengan Kesultanan Turki Usmani di awal abad 17 Masehi, baik dalam konteks geo politik hingga kebudayaan menjadi saling pengaruh mempengaruhi.


Dalam rentang satu abad, luasnya pengaruh Banten atas wilayah Asia dikuatkan oleh kemampuan kepemimpinan beberapa sultan, antara lain Sultan Kenari dan Sultan Ageng Tirtayasa, jauh sebelum pudarnya pengaruh tersebut ketika kepemimpinan setelahnya.

Pengaruhnya tidak sekedar politis namun juga pada aspek spiritualitas Islam, terutama menyangkut pada perkembangan ilmu-ilmu Islam. Fakta sejarah terkait itu ada di Kasunyatan, saat abad 17 Masehi Kasunyatan adalah pusat spiritualitas sekaligus pusat pendidikan agama Islam terbesar se-Asia

Sultan Zainal Asikin

Sultan Zainal Asikin menjadi sultan Banten yang ke-12 setelah menggantikan Sultan Wasi Zainal Alimin, pamannya yang menjadi sultan yang ke 11. Sultan Zainal Asikin ini putera Sultan Syifa Zainal Arifin yang sebelumnya dikenal dengan Pangeran Gusti dan pernah dibuang ke Ceylon Srilanka oleh VOC Belanda tahun 1747 M.

Pada 1752 VOC Belanda telah mengangkat Pangeran Arya Adisantika, adik Sultan Syifa Zainal Arifin menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abulma’ali Muhammad Wasi Zainal Alimin dan waktu yang bersamaan Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel memutuskan untuk mengembalikan Pangeran Gusti dari tempat pengasingannya dan ditetapkan sebagai putra mahkota

Pribadi Sultan Banten ke-12 ini menghiasi bentang sejarah yang memukau, bukan hanya karena banyak drama-drama dan intrik-intrik politik di seputar kehidupannya sebelum ia naik tahta, tetapi juga sultan Banten yang memiliki kapasitas intelektual dan spiritualitas tinggi dalam waktu yang bersamaan. Eksistensinya sebagai sultan yang didukung oleh VOC sekaligus pembesar Banten lainnya adalah nilai tambah baginya dan di bawah pengaruhnya, Banten cenderung stabil.

Jimat Sultan

Dalam kitab Fathu al Muluk li Yashila Malik al Muluk ala Qoidat Ahl Suluki ( Manuskrip kitab nomor kode A. 111), Syaikh Abdulloh bin Abdul Qohar al-Bantani telah mendeskripsikan pribadi Sultan Zainal Asikin di dalam mukadimah kitabnya tersebut.

فإن بعض السادات والعرفان وأصحاب الأحباب من خلصان الإخوان والأصحاب من سيد السادة ملك المعظم المظفر المفخم المنصور بعناية مالك الغفار مولانا وسيدنا النسيب الحبيب الطاهرات الأصل والنسل من سلا(لة) بني هاشم وبني المطلب سلطان أبو النصر محمد عارف زين العاشقين السلطان بن السلطان المرحوم أبو الفتح شفاء زين العارفين خليفة الله تعالى في أرضه خليفة القادري والرفاعي وغيرهما قدس الله أسرارهم الجميع دام علاه

Artinya: Maka sesungguhnya sebagian orang-orang yang dimuliakan, ahli ilmu, sahabat-sahabat yang dikasihi dari beberapa saudara dan sahabat dari pemimpin yang mulia, diagungkan, tangguh, berkuasa yaitu tuan kita dan penguasa kita, seorang yang memiliki nasab keturunan mulia, yang terkasih, berasal dari keluarga leluhur suci, dari trah Bani Hasyim dan Bani Muthalib, yaitu Sultan Arif Zainal Asyikin, seorang sultan putra almarhum Sultan Syifa Zainul Arifin, seorang wakil Allah Ta’ala di muka bumi, sekaligus seorang wakil Tarekat Qadiriah dan Rifa’iah dan lain sebagainya, semoga Allah senantiasa mensucikan rahasia mereka, dan senantiasa melanggengkan keluhurannya.

Keseharian Sultan Zainal Asikin ini selain sebagai sultan Banten, ia adalah juga mursyid tarekat Qodiriyah dan tarekat Rifaiyah, serta di sela-sela waktunya menulis kitab yang berisi jimat-jimat dengan gaya penulisan huruf Arab isinya Jawa Banten. Jimat yang dimaksud adalah aji yang artinya kemuliaan dan amanat artinya kepercayaan yang diperoleh.

Dalam kitab jimat yang ditulis sultan Asikin itu selalu ada anjuran untuk mutih, yaitu proses mensucikan diri dari hal-hal yang syubhat dan yang haram, bukan dimaksud mutih itu puasa dengan konsumsi nasi putih dan air putih. Sebab Sultan Zainal Asikin menerapkan ayat Al-Qur'an dengan pendekatan budaya, ayat tersebut adalah ayat 88 dari surat al-Maidah. وَكُلُوْا مِمّا رَزَقَكُمُاللّٰهُحَلٰلًا طَيِّبًاۖ وّاتّقُوا اللّٰهَالّذِيْٓ اَنْتُمْبِهٖ مُؤْمِنُوْنَArtinya : Makanlah apa yang telah Allah anugerahkan kepadamu sebagai rezeki yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah yang hanya kepada-Nya kamu beriman Sang sultan yang alim itu selalu meluangkan waktunya untuk zikir tarekat, menulis kitab di Bale Kambang Tasik Kardi, tempat persinggahan atau peristirahatan sultan dan keluarganya, jaraknya kurang lebih 1 km arah selatan dari Keraton Surosowan. Di tahun 1596 tempat tersebut adalah tempat menerima tamu para pedagang dari Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman. Makna Jimat Sultan Jimat dalam perspektif sekarang ini adalah benda atau tulisan yang dianggap punya tuah, khasiat atau untuk kesaktian, sementara jimat yang dimaksud Kanjeng Sultan Zainal Asikin adalah sikap atau prinsip hidup untuk memperoleh kemuliaan dengan indikasi ketenangan jiwa, pikiran baik, dan ketaatan totalitas atas perintah Allah S.w.t. Dalam kitab jimat tersebut, sultan ke-12 itu menuliskan pesan untuk masyarakat Banten agar tidak meninggalkan aqidah Islam, berpegang teguh pada al-Qur'an, dan anjuran taat pada perintah sultan. 
Sumber: Adipati khairu

Filosofi Batik Menurut Sunan Gunung Jati

    Tentang Martabat Pitu ajaran para wali (Sunan Gunung Jati 1448-1568) Alam ahadiyat, alam wahdat, alam wahidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajsam, alam insan kamil. Utawi hakikote ing jisim iku sulbi lan hakikote iku papat. Geni, angin, banyu, bumi. Utawi pekumpulan ing quran iku ing fatihah lan pekumpulane ing fatihah iku bismillah lan pekumpulane ing bismillah iku ing huruf lan pekumpulane ing huruf iku ing alif lan pekumpulane ing alif iku ing naqtu lan pekumpulane, ing naqtu iku ing naqot (Nuqot) ghoib. Menurut beberapa ulama, salah satunya adalah Syekh Nawawi al-Bantani dzuriyah Pangeran Sunyararas bin Maulana Hasanudin bin Sunan gunung Jati yg disampaikan melalui ceramahnya Gus Baha. al-Quraan diringkas di dlm fatihah, fatihah diringkas di dlm bismillah, bismillah diringkas di dlm huruf "Ba" Ba diringkas Ig di dalam titik. Menurut beberapa pengamal syatariyah di Cirebon, gabungan kata "Ba" & "Titik" inilah yg kemudian disebut "Batik" sehingga batik yg merupakan pakain khas Indonesia ini menurut sbegian pengamal tarekat syatariyah di Cirebon itu mengandung makna & filosofi mendalam, yakni mencakup seluruh isi al-Quran. Maka wajar saja jika dulu batik tidak sembarangan dibuat & dipakai. Hanya orang-orang keraton saja yg bisa memakai pakaian ini, itu pun yg sdh kelas spiritualnya tinggi. Ok tp berbeda dgn sekarang, batik tdk lagi dimaknai sbgmana di atas, sebab sobek kepaten obor dgn makna & filosofinya. Jd harus dondomono jrumatono kanggo sebo mengko sore, tegas Sunan Kalijaga. 

    


Dalam konteks martabat pitu, sejalan juga dengan apa yg dipaparkan oleh Ronggowarsito (Mas Bagus Burhan), pujangga Keraton Surkarta abad 19 dalam Serat Wirid Hidayat Jati bab Betal Muqoddas di bawah ini. Sajatine Ingsung. Anata mahligai ana sajeroning betal muqoddas. Iku umah anggone pesucen Ingsun, jumeneng ana ing khontole Adam. Kang ana sajeroning khontol iku prinsilan. Kang ana ing antarane prinsilan iku nutpah, yaiku mani, sajeroning mani iku madzi, sajeroning madzi iku wadi, sajeroning wadzi iku manikem, sajeroning manikem iku rahsa, sajeroning rahsa iku Ingsun. Ora nana Perigeran (Tuhan) anging Ingsun, dzat kang angaliputi ing kahanan jati. Jumeneng sajeroning NUKAT GHAIB tumurun dadi johar awal. Ing kono wahananing alam akhadiyat, wakhdat, wakhidiyat, alam arwah, alam misal, alam ajsam, alam insan kamil (Martabat Pitu) dadi manusa sampurna yaiku sajatine sipat Ingsun.

Pemuda Arab Ampel Mencintai Penari Yahudi

 



Di masa pemerintahan Hindia Belanda, warga Arab beserta keturunannya ditempatkan di kampung Arab yang terletak di kawasan Ampel dan di sepanjang bantaran Kalimas.
Para Migran Arab ke Surabaya umumnya perantau yang berdagang palawija, mebel, kulit, sandal, merjan, minyak wangi, dan kemenyan. Mereka datang secara perorangan tanpa disertai keluarga.
Di Surabaya, para perantau Arab ini karena kesamaan agama dengan penduduk lokal, banyak yang menikahi para gadis setempat hingga melahirkan keturunan yang kelak dikenal dengan sebutan Arab Ngampel.
Keturunan Arab Ngamel ini hanya mengenal bahasa ibunya yakni Bahasa Jawa. Mereka baru mengenal bahasa Arab lebih lanjut ketika ada yang melanjutkan sekolah di Holland Arabisch School. Rupanya ikatan primordial dengan kerabat ibunya lebih dekat dibanding dengan kerabat ayahnya yang nun jauh di jaziarah Arab.
Karena itu pada tahun 1930, para Arab keturunan menuntut untuk dijadikan sama kedudukannya dnegan warga bumi putera yakni sebagai anak negeri Indonesia.
Ada sejumlah makanan khas kampung Arab Ampel seperti kue selong, kue putri mandi, ketan srikaya, kue lumpur, serabi, godir dan banyak lagi. Sedangkan makanan yang paling terkenal dan menjadi kekhasan mereka adalah gulai kacang hijau yang dimakan dengan roti maryam. Menariknya, roti maryam kegemaran warga Arab Ampel ini adalah yang dijual oleh para pedagang Madura. Tatacara makan dan selera makanan mereka tidak jauh berbeda dengan warga bumiputera lainnya.
Pusat pemukiman Arab Ampel ini di sekitar Kampementraat (sekarang Jl KH Mas Masnyur), Jl Panggung dan sekitar Benteng Citadel Prins Hendrik (sekrang jalan Banteng yang di atasnya ada Mesjid Al-Irsyad).
Mereka juga mempunyai tempat hiburan. Dulu ada bioskop Al-Hambra yang terletak di kampung Gili. Pemiliknya seroang konglomerat Arab ternama bernama Baswedan.
Di Jalan Panggung rutin diadakan sandiwrara tonil. Rombongan tonil yang sering main antara lain Grup Tonil Dardabela. Jika mereka datang, maka penonton akan datan berjejal-jejal.
Menurut satu cerita, pernah hadir rombongan tonil dari Belanda. Para pemain tonil ini digandrungi masyarakat karena penampilannya yang hebat. Diantara para pemainnya ada seroang gadis Yahudi yang sangat cantik yang menjadi primadona.
Si gadis Yahudi itu ternyata jatuh cinta pada pemuda Arab yang tinggal di Kampemenstraat. Cintanya disambut pemuda Arab Itu. Ketika rombongan tonil Belanda itu main, menjadi kesempatan mereka bertemu.
Sayangnya hubungan mereka ketahuan dan tidak disetujui pimpingan rombongan tonil. Mereka tidak mau kehilangan sang Primadona. Diputuskan mereka meninggalkan Surabaya sebelum jadwal pertunjukan selesai.
Sang Pemuda Arab setelah kepergian kekasihnya itu mengalami shock dan stress berat, hingga meninggal dunia. Peristiwa itu oleh orang-orang kemudian dikenal dengan sebutan tragedi cinta di jalan Panggung.
Sumber: Surabaya Post, 23-05-1995, hal 12. Koleksi Surat Kabar Langka Salemba – Perpustakaan Nasional RI (Skala-team)

Polemik Kiblat Masjid al Anwar Pasuruan


    Ramadan 1354 H (1936 M) kala itu, tak ubahnya kebiasaan pada bulan puasa sebelumnya. Para jama’ah Masjid Jami’ Pasuruan memasang “bom” di halaman depan masjid sebagai penanda waktu berbuka tiba. Namun, hal tersebut, justru mengingatkan sejumlah orang atas keganjilan di Masjid Jami’ Pasuruan yang baru saja direnovasi setahun sebelumnya. Di halaman tersebut, ternyata telah berpindah keberadaan mizwalah, sebuah tugu yang dipergunakan untuk menentukan masuknya waktu salat dengan mengacu pada bayangan benda dari sorotan sinar matahari. Pergunjingan di kalangan masyarakat Pasuruan tersebut, bahkan merambat. Tak hanya pada keberadaan mizwalah. Namun, juga terhadap akurasi kiblat masjid jami’ tersebut. Pergunjingan tersebut juga melibatkan sejumlah ulama terkemuka di kota tersebut. Atas kejadian tersebut, Patih Pasuruan yang menjabat kala itu, meminta kepada tiga ulama ahli miqat dan falak untuk memeriksa kebenaran kiblat masjid jami’ tersebut. Dalam surat tertanggal 8 Juli 1936, Patih Pasuruan itu menulis demikian:

“Saja mempermakloemkan, bahwa sesoedahnja boelan Ramadhan jg. baroe laloe ada beberapa orang jg. memberi tahoekan pada saja bahwa waktoe2 di Masdjid Djami’ Pasoeroean sering tidak tjotjok dengan waktoe loear kota, djoeaga ada jg. Bilang jg. Qiblat masdjid koerang sampoerna.”
    Keluhan tersebut ditujukan kepada Sayid Muhammad Al-Athas dari Probolinggo, Kiai Mas Subadar dari Besuk, Pasuruan dan Kiai Abduljalil dari Sidogiri, Pasuruan. Ketiganya, oleh Patih Pasuruan, ditunjuk sebagai komisi guna menentukan akurasi arah kiblat masjid jami’ tersebut. Pada akhirnya, sebagaimana diungkapkan dalam Berita Nahdlatoel Oelama (BNO) yang ditulis secara bersambung pada edisi 11 Tahun VI (1 April 1937), 12 Tahun VI (15 April 1937) dan 13 Tahun VI (1 Mei 1937), ketiga ulama tersebut melakukan pemeriksaan pada 13 Agustus 1936. Saat itu, Patih Pasuruan juga hadir dengan didampingi sejumlah imam masjid jami. Di antaranya adalah KH. Thohir, Kiai Nawawi dan KH. Abdurrachim. Sedangkan Mas Haji Sahal selaku penanggungjawab Pembangunan masjid tak datang dikarenakan ada kesibukan lainnya.

    Gerakan tersebut, mendapat perlawanan oleh orang-orang NU yang menjadi jarna'ah masjid jami' Pasuruan. Mereka kembali mengubah tikar masjid kea rah kiblat versi komisi. Hal tersebut berulang beberapa kali. Kiai Abdurrahman yang notabanenya adalah Rais Syuriyah PCNU Pasuruan, sekaligus sebagai A'wan HBNO yang terpilih pada Muktamar ke-9 NU di Banyuwangi pada 1934 (Lihat SNO, No. 6 Tahun IV, Jumadil Tsani 1353 H), melaporkan kejadian itu kepada Patih Pasuruan yang kala itu sudah diganti orang baru. Kemudian, pada 8 Dzulhijah 1355 (Februari 1937), mengadakan pertemuan dengan 8 orang ulama Pasuruan. Selain Kiai Abdurrahman, dari pengurus NU yang hadir ada juga KH. Choezaimi dan KH. Djoefri.

    Dalam pertemuan tersebut, Patih melakukan voting atas arah kiblat Masjid Jami' Pasuruan. Dalam voting tersebut, ternyata dimenangkan oleh pihaknya Kiai Abdurrahman yang menganggap bahwa arah kiblat tak perlu diubah. Hasil voting tersebut, menimbulkan kekecawaan bagi Kiai Choezaimi dan Kiai Djoefri. Keduanya yang mendukung perubahan arah kiblat, merasa dikerjai dalam pertemuan itu. Sebagai pengurus NU, keduanya merasa tak diajak berembuk terlebih dahulu.


Lantas bagaimana ujung dari polemik tersebut?

    Dari pengukuran tersebut, diketahui bahwa mizwalah di Masjid Jami Pasuruan tidak akurat. Lebih cepat 3 sampai 4 menit. Sedangkan, posisi kiblatnya juga serong sebanyak 3 derajat, bahkan dalam metode ukur lainnya, keserongannya mencapai 5 derajat dari ainul ka'bah. Atas hasil tersebut, maka arah kiblat harus diubah. Kemiringan lebih dari 2 derajat tersebut, melebihi batas toleransi kepresisian kiblat dalam madzhab Syafi'i. Kiai Muhammad bin Yasin yang kala itu masih tinggal di Pasuruan (sebelum pindah ke Jember), lantas menyampaikan kepada masyarakat pada hari itu juga. Kebetulan, setelah Ashar, Kiai Muhammad tersebut sedang mengajar di masjid. Namun, keputusan komisi bentukan Patih Pasuruan itu, ditolak oleh sejumlah kalangan. Di antaranya adalah Kiai Abdullah bin Yasin, adik dari Kiai Muhammad bin Yasin. Pada 9 Oktober 1936, salah seorang imam masjid jami' Pasuruan, KH. Thohir, membacakan surat dari Kiai Abdullah pada saat pelaksanaan salat Jumat.

    Surat tersebut membenarkan jika arah kiblat masjid kurang presisi. Namun, masih berkisar 2 derajat sehingga masih dalam tahap diperbolehkan dan haram hukumnya untuk mengubah arah kiblat. Pengumuman tersebut, menimbulkan kegaduhan baru. Warga terbelah. Ada yang mendukung pendapat Kiai Abdullah, namun juga tak sedikit yang membela pendapat komisi yang awal. Untuk meredam hal tersebut, Kiai Muhammad lantas membuat risalah perihal arah kiblat masjid jami Pasuruan dalam bahasa Arab dan Jawa. Tujuannya, untuk menjelaskan duduk perkaranya hal tersebut.

    Atas upaya tersebut, masyarakat Pasuruan kembali redam. Orang sembayang kembali mengacu kepada arah kiblat yang telah ditentukan oleh komisi bentukan Patih Pasuruan. Akan tetapi, di kemudian hari, KH. Abdurrahman dari Legi, Pasuruan, tiba-tiba mengembalikan tikar masjid ke arah semula sebelum ada perubahan

Kisah Tragis Amangkurat III

 

NASIB TRAGIS AMANGKURAT III, RAJA JAWA YANG ANTI BELANDA
Amangkurat III yang mempunyai nama asli Raden Mas Sutikna adalah Sultan Kesunanan Kartasura Mataram yang memerintah seumur jagung. Pendeknya masa pemerintahannya dikarenakan terlibat konflik dengan Belanda, beliau wafat karena dibuang ke Srilangka pada 1734 selepas Kesultanan yang dipimpinnya ditaklukan oleh Belanda.
Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Mas Sutikna adalah anak satu-satunya Amangkurat II, istri yang lain dari Amangkut II diguna-guna oleh ibu Raden Mas Sutikna sehingga tidak ada satupun yang memiliki keturunan. Raden Mas Sutikna ketika masih muda dijuluki dengan nama Pangeran Kencet, dijuluki demikian karena ia menderita cacat (kencet) dibagian tumitnya sejak kecil.
Watak Amangkurat III dikisahkan mirip dengan kakeknya (Amangkurat I), ia berwatak buruk, mudah marah dan cemburu bila ada pria lain yang lebih tampan darinya, ia juga dikenal sebagai Raja yang gegabah dalam mengambil keputusan.
Sebelum menjadi Raja Kasunanan Kartasura, Raden Mas Sutikna menjabat sebagai Adipati Anom, ia memperistri sepupunya sendiri yang bernama Raden Ayu Lembah, anak Pangeran Puger. Namun pernikahannya dengan Ayu Lembah tidak bertahan lama, sebab istrinya berselingkuh dengan Raden Sukra, putra Patih Sindareja.
Tragedi perselingkuhan itu kemudian menyebabkan Raden Sukra dijatuhi hukuman mati, sementara Ayu Lembah sendiri rupanya bernasib sama, Amangkurat III memaksa pamannya Pangeran Puger untuk membunuh Ayu Lembah, putrinya sendiri.
Selepas peristiwa itu, Amangkurat III menikah lagi dengan Raden Ayu Himpun, adik dari Ayu Lembah, akan tetapi lagi-lagi pernikahan ini kandas ditengah jalan. Amangkurat III menceriakan Ayu Himpun karena waktu itu Pangeran Puger dianggap melakukan pembangkangan pada Amangkurat III.
Amangkurat III kemudian mengangkat Permaisuri baru, kali ini ia mengawini wanita desa yang masih gadis wanita itu dikisahkan diambil dari Desa Onje.
Tingkah laku Amangkurat III yang sewenang-wenang dan gegabah dalam mengambil keputusan membuat sebagian pejabat Istana tidak lagi suka kepada Rajanya. Diam-diam mereka mendukung Pangeran Puger untuk menjadi Raja di Kertasura, dukungan ini kemudian ditanggapi oleh Raden Surya Kusumo yang tak lain merupakan putra Pangeran Puger untuk melakukan pemberontakan.
Belum juga terlaksana, upaya pemberontakan yang dilancarkan keluarga Pangeran Puger tercium oleh Amangkurat III, oleh karena itu, Raja kemudian mengirim utusan untuk membunuh Pangeran Puger beserta seluruh keluarganya, akan tetapi upaya pembunuhan gagal. Sebab sebelum dibunuh Pangeran Puger telah mengetahui rencana pembunuhan keluarga dan dirinya. Dalam rangka menghindari upaya pembunuhan, Pangeran Puger dan seluruh anggota keluarganya melarikan diri ke Semarang.
Di Semarang Pangeran Puger diliputi kegelisahan karena merasa jiwanya terancam, ia takut suatu waktu keponakannya menyerbu Semarang, oleh karena itu Pangeran Puger kemudian mengadakan persekutuan dengan VOC Belanda, ia mengiming-imingi VOC dengan keuntungan yang besar bila bersedia membantunya melengserkan keponakannya dari tahta. Kerjasama antara Pangeran Puger dan VOC kemudian terbina.
Pada tahun 1705 Pangeran Puger dengan dibantu VOC bergerak ke Kartasura untuk melakukan serangan, di sisi lain Amangkurat III membangun pertahannya di Unggaran. Pertahanan dikepalai oleh Arya Mataram. Akan tetapi dikemudian hari Arya Mataram membelot ia bergabung dengan pasukan Pangeran Puger.
Pada Tahun 1706 gabungan pasukan Pangeran Puger, Arya Mataram dan VOC Belanda berhasil merebut keraton Kertasura setelah terlibat peperangan yang sengit dengan pihak Kesultanan. Biarpun demikian Amangkurat III berhasil melarikan diri ke Ponorogo.
Sesampainya di Ponorogo bukannya berbaik-baik dengan Adipati-nya, Amangkurat III justru merasa curiga terhaap kesetiaan rakyat dan Adipati Ponorogo. Ia pun menyiksa Adipati dan beberapa pejabat tinggi Keadipatian.
Melihat Adipatinya disiksa Rakyat Ponorogo berontak, mereka melakukan pengepungan, tujuannya menangkap Amangkurat III, akan tetapi Amangkurat III berhasil melarikan diri ke Madiun. Dari Madiun Amangkurat III kemudian bertolak ke Kediri, untuk bergabung dengan Untung Suropati yang kala itu sedang bereprang melawan VOC Belanda.
Pangeran Puger yang masih belum puas kerena belum berhasil meringkus keponakannya akhirnya melancarkan serangan ke Kediri, ia mencoba memberantas pasukan Amangkurat III yang kala itu sudah bergabung dengan Untung Suropati.
Pada Tahun 1708 Pangeran Puger berhasil merebut Kediri, Amangkurat III tertangkap, sementara Untung Suropati berhasil melarikan diri. Setelah tertangkap Amangkurat III dikirim ke Batavia dan selanjutnya di buang ke Srilangka. Amangkurat III wafat pada tahun 1734 di tempat pembuangannya.
Amangkurat III menjabat sebagai Sultan Kesunanan Kartasura dari tahun 1703 hingga 1705, ini berarti ia hanya memerintah seumur jagung saja, yaitu hanya memerintah selama 2 tahun lebih sedikit. Kekalahan Amangkurat III kemudian mengantarkan Pangeran Puger menjadi Raja Kartasura selanjutnya, adapun gelar yang disematkan kepada Pangeran Puger adalah Pakubwana I.

Melihat Posisi Hilal Dengan Aplikasi Website


Untuk kawan-kawanku yang berwajah gembira silahkan kunjungi link di bawah ini agar dalam melihat hilalmu lebih memudahkan.

https://rukyatulhilal.org/apps/hilal/index.html

atau di sini ya ini produknya ipin upin atau malaysia:

https://www.appfalak.com/index2.php?name=hilal

dan yang ini link dari BMKG:

https://hilal.bmkg.go.id

dari Kyai Washil Demak:
https://falakiyah-info.blogspot.com/2024/03/hisabawalbulan.html

ini untuk imsakiyahnya ya:

https://falakiyah-info.blogspot.com/2024/03/jadwalimsakiyah.html

so.. selamat bertugas dilapangan ya gaes. smoga manfaat.

Jimat "Pengasihan Asikin"

Banten dulu adalah salah satu kesultanan di Nusantara yang tercatat pernah berpengaruh dari mulai Kerawang hingga negeri Malabar India di sa...