Contoh Penilaian Ilmu Falak


Satuan Pendidikan

: STAI Nahdlatul Ulama (STAINU) Malang

Mata Kuliah

: Ilmu Falak

Tahun Pelajaran

: 2023 (Genap)

Kelas

: ES-A

Kurikulum

: MBKM

Semester

: 6 (Enam)

Dosen

: Khoirul Anwar, S.H.I., M.H.

Bentuk Soal

: Uraian UTS

Waktu

: 90 Menit

    

Kopetensi Dasar

Lingkup Materi

Materi

Merancang secara individual ataupun kolektif dalam membuat Pengukuran Arah Kiblat Metode Segitiga Bola sehingga mahasiswa mampu mempraktekkannya

Konsep, cara dan praktek Pengukuran Arah Kiblat Metode Segitiga Bola pada tempat Ibadah

Pengukuran Arah Kiblat Metode Segitiga Bola

Indikator Soal

Materi disajikan berupa perancangan Pengukuran Arah Kiblat Metode Segitiga Bola dengan tujuan mahasiswa mampu membuat dan Mengabstraksi Pengukuran Arah Kiblat Metode Segitiga Bola sendiri (C-6)

Rumusan Butir Soal

Disajikan kepada mahasiswa dalam menghisab atau menghitung Pengukuran Arah Kiblat Metode Segitiga Bola, sehingga mahasiswa dapat membuat dan mengabstraksi metode tersebut secara mandiri 

Stimulus

Adanya perdebatan mengenai teori bentuk Bumi. Ada yang percaya bentuk Bumi itu bulat, namun ada juga yang mengeluarkan teori kalau Bumi itu datar.  Sebenarnya, teori Bumi bulat (round earth) vs Bumi datar (flat earth) ini sudah menjadi bahasan yang banyak

Soal Ke-4

Melihat ilustrasi materi di atas untuk mengetahui arah kiblat dengan segitiga bola itu bisa atau tidak padahal adanya pendapat bahwa bumi itu datar, Jelaskan!

        1. Mengetahui konsep  teori Bumi bulat (round earth) vs Bumi datar (flat earth) secara matang (Skor 1)

       2. Memberikan pelatihan dan pengertian mendalam akan teori Pengukuran Arah Kiblat Metode Segitiga Bola kepada masyarakat  (Skor 1)

      3. Pembuktian secara ilmiah dan sains akan bumi yang bulat atau datar berdasarkan geosentris atau toposentris (Skor 1)

Catatan

Jika terdapat ketepatan dalam menjawab hingga lebih dari 2 kata kunci maka di nilai 1 jika tidak menjawab maka nilai dianggap (0) / kosong 


Antara Syekh Mahfuzh Tremas dan Kiai Sholeh Darat

                                        Syekh Muḥammad Ṣaliḥ bin ‘Umar as-Samarani


Kapan pertama kali Syekh Mahfuzh Termas (Al-Imam al-‘Allamah al-Faqih al-Uṣūli al-Muḥaddith al-Muqri Muḥammad Maḥfūz bin ‘Abdullah, bin ‘Abdul Mannan at-Tarmasi al-Jawi al-Makki ash-Syafi‘i, 1868-1919) bertemu dengan Kiai Sholeh Darat (Al-‘Alim al-‘Allamah Muḥammad Ṣaliḥ bin ‘Umar as-Samarani, w.1903)? Barangkali jawabannya terjadi pada akhir 1870-an. Ketika itu, Mahfuzh kecil dibawa oleh ayahnya, Kiai ‘Abdullah, untuk mondok di Pesantren Darat yang diasuh oleh Kiai Sholeh Darat, seorang kiai yang telah terkenal kealimannya pada masa itu. Kiai ‘Abdullah jelas telah mengenal Kiai Sholeh Darat di Mekkah, di mana hingga kelahiran Mahfuzh beliau masih berada di sana. Dalam pengantar karyanya Kifayat al-Mustafid Lima ‘Ala Min al-Asanid, Syekh Mahfuzh menceritakan proses mengajinya sebagai berikut: Di antara para syekhkku yang mulia dan mendalam ilmunya adalah al-‘Allamah asy-Syekh Muḥammad Ṣaliḥ bin ‘Umar as-Samarani: Aku mengikuti pengajian beliau dalam Tafsir al-Jalalain secara keseluruhannya sebanyak dua kali, Syarḥ asy-Syarqawi ‘Ala al-Ḥikam begitu juga (dua kali khatam, ed.), Wasila(tuṭ) -Ṭullab, dan Syarḥ al-Mardini dalam ilmu astronomi. (Maḥfūz, Kifayat al-mustafid, 7) Dalam daftar guru yang disusun Syekh Mahfuzh di atas, Kiai Sholeh menempati urutan kedua setelah ayah beliau. Hal ini dapat mengindikasikan paling tidak satu dari dua hal berikut. Pertama, Kiai Sholeh adalah guru pertama setelah ayah Syekh Mahfuzh sendiri. Artinya, daftar itu disusun berdasarkan urutan kronologis. Kedua, daftar ini disusun berdasarkan urutan pengaruh. Artinya, Kiai Sholeh dinilai oleh Syekh Mahfuzh sebagai guru yang paling berpengaruh dalam kehidupan beliau, setelah sang ayah.

Syekh Mahfuzh jelas merupakan murid yang istimewa di mata sang guru. Hal ini dapat disimpulkan dari keinginan beliau menjadikan Syekh Mahfuzh sebagai menantu. Iya! Syekh Mahfuzh-lah yang pertama kalinya dikehendaki menjadi menantunya. Namun, kita ketahui bahwa, Kiai Dahlan-lah, adik dari Syekh Mahfuzh yang akhirnya menjadi menantu Kiai Sholeh. Apa yang terjadi? Berikut kisahnya sebagaimana dituturkan Drs. KH Fathurrahim kepada penulis setahun yang lalu. Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Ikhlas (Nuris), Jembrana, Bali, ini mengatakan bahwa tanda dari keinginan Kiai Sholeh ingin menjadikan Syekh Mahfuzh sebagai menantu sangat jelas. Keturunan Kiai Sholeh Darat dari Kiai Dahlan at-Tarmasi ini mengisahkan bahwa Kiai Sholeh sering sekali memberikan hadiah untuk Syekh Mahfuzh. Hadiah ini beragam, mulai dari pecis, baju, sarung dan lainnya. Hal ini ditangkap jelas oleh Syekh Mahfuzh bahwa Kiai Sholeh ingin menjadikannya sebagai menantu. Namun, Syekh Mahfuzh justru selalu memberikan hadiah dari Kiai Sholeh kepada adiknya, Kiai Dahlan. Kiai yang dikenal sebagai ahli astronomi, sehingga beliau dijuluki Kiai Dahlan al-Falaki, selalu menerima pemberian itu. Suatu ketika, barangkali saat itu Kiai Sholeh menilai bahwa anak perempuannya telah siap untuk menikah, beliau datang berkunjung ke rumah Kiai ‘Abdullah. Kali ini beliau menyatakan secara jelas bahwa beliau hendak menjalin hubungan besan dengan Kiai ‘Abdullah dengan melamar Syekh Mahfuzh untuk putri Kiai Sholeh, Raden Adjeng Siti Zahroh. “Keluarlah ke sini wahai yang hendak menjadi calon menantuku!” ucap Kiai Fathurrahim menceritakan ucapan Kiai Sholeh. Syekh Mahfuzh meminta adiknya untuk memakai seluruh hadiah yang pernah ia berikan, yaitu hadiah yang sebenarnya dari Kiai Sholeh. Beliau lalu mengajak sang adik untuk menghadap Kiai Sholeh.

Ketika berada di hadapan Kiai Sholeh, Syekh Mahfuzh berkata, “Yang memakai seluruh pemberian Mbah Yai inilah yang menjadi calon menantu Mbah Yai.” Kiai Dahlan yang tidak tahu apa-apa, saya kira tentunya cukup kaget dengan ucapan kakaknya itu. Namun, beliau diam saja mengikuti rencana sang kakak. Barangkali, sebagian kita akan menduga bahwa Kiai Sholeh akan marah karena “ditolak” oleh Syekh Mahfuzh. Namun hal itu keliru, Kiai Sholeh menerima perubahan calon menantunya. “Baiklah! Tidak mengapa, asalkan aku bisa berbesan dengan Kiai ‘Abdullah,” ucap Kiai Sholeh. Dari sinilah terjawab teka-teki pernikahan Kiai Dahlan at-Tarmasi dengan Raden Adjeng Siti Zahroh. Kiai Dahlan sendiri adalah santri Kiai Sholeh di Pesantren Darat. Di akhir perbincangan kami, Kiai Fathurrahim berpesan agar saya mencarikan sebuah kitab falak karya Kiai Dahlan yang menurutnya ada di Belanda. Sejauh saya mencari, terutama di Perpustakaan Leiden, saya tidak menemukan kitab tersebut. Barangkali ada yang tahu kitab falak karya Kiai Dahlan at-Tarmasi, bisa tolong bantu kami?

(Dikutip dari: Nur Ahmad, Wakil Sekretaris PCINU Belanda 2017-2019, Alumni Master’s Vrije Universiteit Amsterdam)


KH. Faqih Maskumambang Dukun Gresik


Kiai Faqih Maskumambang.

    Lahir sekitar tahun 1857 di Desa Sembungan Kidul, Kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Lokasinya berjarak lebih kurang 40 km arah barat laut Kota Surabaya. Ia adalah putra dari Kiai Abdul Jabbar dan Ibu Nyai Nursimah. Kiai Faqih Maskumambang masih termasuk keturunan darah biru, baik dari ayah maupun ibu.
    Kiai Abdul Jabbar masih ada keturunan Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir yang nasabnya bersambung hingga ke Sunan Giri. Sedangkan Ibu Nyai Nursimah merupakan putri Kiai Idris, Kebondalem Burno, Bojonegoro. Maka tidak mengherankan jika Kiai Faqih Maskumambang nantinya akan menjadi sorang ulama yang mashyur dan disegani. Masa kecil KH Muhammad Faqih atau Kiai Faqih Maskumambang dihabiskan dengan didikan dari orang tuanya yang merupakan seorang ulama yang disegani di daerahnya. Ayahnya adalah seorang pendiri sekaligus pengasuh Ponpes Maskumambang. Usai belajar ilmu agama dari sang ayah, ia melanjutkan tafaqquh fiddin-nya menuju ke Ponpes Demangan, Bangkalan, yang diasuh oleh seorang ulama masyhur ilmu lahir-batinnya, Syaikhona Muhammad Kholil. Saat itu, pesantren ini memang dikenal jadug dalam mendidik para santri. 
    Mereka kemudian menjadi tokoh atau pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama. Antara lain Hadratussyaikh M Hasyim Asy’ari, KH A Wahab Chasbullah, KH M Bisri Syansuri, KH Ridwan Abdullah serta masih banyak lagi. Tidak ada catatan yang menyebutkan tentang berapa lama Kiai Faqih Maskumambang belajar di pesantren Syaikona Kholil. Setelah itu Kiai Faqih Maskumambang melanjutkan studinya ke tanah suci Makkah al-Mukarramah, sebagaimana tradisi ulama terdahulu untuk lebih memantapkan keilmuannya. Ia belajar kepada ulama-ulama Haramain, terlebih kepada Syaikh Mahfudz at-Turmusi, salah satu pengajar di Masjidil Haram. Selama belajar di tanah suci ini, ia bertemu dengan banyak teman yang berasal dari Indonesia, yakni Hadratussyaikh M Hasyim Asy’ari Hasyim Asy’ari dan Kiai Munawir Krapyak. Mereka berkawan karib hingga bersama-sama berjuang mendirikan Nahdlatul Ulama. Sedangkan Kiai Munawir menjadi ulama yang ahli dalam bidang Al-Quran dan Qiraah Sab’ah. Hampir semua sanad Al-Quran dan Qiraah Sab’ah yang ada di Indonesia ini, terlebih Jawa, melalui jalur Kiai Munawir Krapyak ini.

Dari : https://nugresik.or.id/kh-faqih-maskumambang-kisah-teladan-bedug-dan-kentongan/ (Diakses pada hari Senin, 18 September 2023, jam: 11.43 WIB)

AMALAN-AMALAN PADA HARI 10 MUHARRAM / YAUMUL ASYURO’

AMALAN-AMALAN PADA HARI 10 MUHARRAM / YAUMUL ASYURO’

Adapun amalan-amalan yang dianjurkan untuk diamalkan pada hari 10 Muharram atau Yaumul Asyuro’ Menurut  Kitab Tanbihul Ghafilin karya Syekh Ibrahim as Samarqandi dan Kitab Kanzun Najah karya Syekh Abdul Hamid al Qudsy  adalah sebagai berikut:

1.     Berpuasa pada hari At-Tasu’a dan Asyuro’ (berpuasa 2 hari pada hari ke-9 dan hari ke-10 pada bulan Muharram)

2.     Pada hari ke-9 dianjurkan membaca surat al-Ikhlas sebanyak 1000 x.

3.     Menyantuni anak yatim piatu serta dianjurkan pula mengusap rambutnya (Adapun 1 helai rambut pahalanya senilai dengan 1 derajat yang luhur dalam pandangan Allah SWT).

4.     Mandi pada malam 10 Muharram (Pada hari 9 Muharram malamnya).

5.     Shalat Tasbih 4 rakaat.

6.     Membaca wirid حــســبــنا الله ونـعــم الـوكــيـل نـعـم الـمـولـى ونـعـم الـنـصـيـر        70x

7.     Pada pagi hari 10 Muharram (Asyuro’) dianjurkan membaca ayat Kursy sebanyak 360 x

8.     Pada pagi hari 10 muharram (Asyuro’) dianjurkan memakai celak baik laki-laki maupun perempuan.


Definisi al Dlirar

Definisi al Dlirar

Latar Belakang

Islam tidak menghendaki adanya kemudaratan bagi umatnya, maka kemudaratan itu harus dihilangkan jika ada. Kaidah ini sering diungkapkan dalam hadits Rasulullah SAW

ﻻَﺿَﺮَﺭَ ﻭَﻻَ ﺿِﺮَﺍﺭَ

“Tidak boleh memudaratkan dan tidak boleh dimudaratkan”. (HR. Hakim dan lainnya dari Abu Sa’id al Khudri, HR. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas)

Kata “Dharar” menurut bahasa adalah lawan dari bermanfaat, dengan kata lain dapat mendatangkan bahaya atau mudharat jika dikerjakan, baik dampaknya kepada dirinya sendiri ataupun kepada orang lain. Kata “Dhirar” menurut bahasa adalah balasan yang sengaja dilakukan atas kemudharatan yang diterimanya. Artinya membalas atau menimpakan kemudharatan kepada orang lain sesuai dan sama dengan kemudharatan yang menimpanya. Sedangkan kita semua tahu kalau mudharat itu sendiri menurut bahasa adalah kebalikan dari manfaat, atau dapat juga dikatakan bahaya atau merugikan. Pendapat Ulama mengenai perkataan dharar dan dhirar, yaitu sebagai berikut:

  1. Al-Husaini mengartikan mengartikan al-dharar dengan “bagimu ada manfaat tapi bagi tetanggamu ada mudarat”. Dan kata dhirar diartikan dengan ”bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi orang lain.
  2. Ulama lain mengartikan al-dharar dengan membuat kemudharatan dan kata dhirar diartikan membawa kemudharatan diluar ketentuan syariah.

Tujuan dari adanya syariah adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Karena maslahat membawa manfaat dan mafsadat mengakibatkan kemudaratan. Maka terdapat kaidah :

ﺍﻟﻀﺮﺭ ﻳﺰﺍﻝ

“Kemudaratan harus dihilangkan”.

Seperti dikatakan oleh ‘Izzuddin Ibn ‘Abd al-Salam bahwa tujuan syariah itu adalah untuk meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Apabila diturunkan kepada tataran yang lebih konkret maka maslahat membawa manfaat sedangkan mafsadah mengakibatkan kemudaratan. Kemudian para ulama lebih memerinci dengan memberikan persyaratan-persyaratan dan ukuran-ukuran tertentu apa yang disebut maslahat.[3] Kaidah tersebut diambil untuk merealisasikan tujuan dari maqashid al-syariah dengan menolak yang mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudaratan atau setidaknya meringankannya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Ahmad al-Nadwi menyebutkan bahwa penerapan kaidah di atas meliputi lapangan yang luas di dalam fikih bahkan bisa jadi meliputi seluruh dari materi fikih yang ada Contoh-contoh di bawah ini antara lain memunculkan kaidah diatas :

  1. Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
  2. Adanya berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana Islam)  adalah juga untuk menghilangkan kemudaratan.
  3. Aturan-aturan tentang pembelaan diri, memerangi pemberontakan, dan aturan tentang mempertahankan harta milik.
  4. Adanya aturan al-hajr (kepailitan) juga dimaksudkan untuk menghilangkan kemudaratan bagi rakyat.
  5. Adanya lembaga-lembaga eksekutif (haiah tanfidziyah), lembaga legislative (haiah tasyri’iyah, ahl al-halli wa al-‘aqdi), di satu sisi lain juga berfungsi untuk menghilangkan kemudaratan.
  6. Dalam pernikahan adanya aturan talak untuk menghilangkan kemudaratan yang lebih besar dalam kehidupan rumah tangga.
  7. Larangan menghancurkan pohon-pohon, membunuh anak kecil, orang tua, dan wanita, dan orang-orang yang tidak terlibat dalam peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk menghilangkan kemudaratan.
  8. Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri juga untuk menghilangkan kemudaratan.
  9. Larangan murtad dari agama Islam dan larangan mabuk-mabukan juga untuk menghilangkan kemudaratan.

 

B.     Landasan hukum yang mendukung kaidah La Dharara Wa La Dhira ra

Ayat-ayat yang menjadi dasar dari kaidah La Dharara Wa La Dhira ra adalah sebagai berikut :

ﻭَﻟَﺎ ﺗُﻤْﺴِﻜُﻮﻫُﻦَّ ﺿِﺮَﺍﺭًۭﺍ ﻟِّﺘَﻌْﺘَﺪُﻭ۟...

“Janganlah kamu merujuk mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka” (Q.S Al-Baqarah: 231)

 Adapun hadits Nabi yang menjadi dasar dari kaidah La Dharara Wa La Dhira ra diantaranya adalah :

ﺣَﺮَّﻡَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻤُﺆ ﻣِﻨِﻴْﻦَ ﺩَﻣَﻪُ ﻭَﻣَﺎﻟَﻪُ ﻭَﻋِﺮﺿَﻪُ ﻭَﺍَﻥْ ﻻﻳَﻈُﻦَّ ﺍﻻ ﺍﻟﺨَﻴْﺮَ

Allah mengharamkan dari orang mukmin, darahnya, hartanya dan kehormatannya, dan tidak menyangka kecuali dengan sangkaan yang baik. (HR. Muslim)

ﺍِﻥَّ ﺩِﻣَﺎﺀَﻛُﻢْ ﻭَﺍَﻣْﻮَﺍﻟَﻜُﻢْ ﻭَﺍﻋﺮَﺍﺿَﻜُﻢ ﺣَﺮَﻡٌ

Sesungguhnya darah-darah kamu semua, harta-harta kamu semua, dan kehormatan kamu semua adalah haram di antara kamu semua. (HR. Muslim)

C.    Pengecualian Kaidah La Dharara Wa La Dhira ra

Pengecualian dari kaidah di atas pada prinsipnya adalah :

1.          Apabila menghilangkan kemudaratan mengakibatkan datangnya kemudaratan yang lain yang sama tingkatannya, misalnya A mengambil makanan orang lain yang juga dalam keadaan kelaparan. Hal ini tidak boleh dilakukan, meskipun si A juga dalam keadaan kelaparan.

Dalam ilmu hukum ada contoh yang sangat terkenal yaitu apabila seseorang di tengah lautan ingin menyelamatkan diri dari tenggelam dengan menggunakan sebilah papan. Kemudian datang orang lain juga yang ingin menyelamatkan diri dengan mengambil papan tersebut. Dalam hukum Islam, hal tersebut tidak boleh dilakukan karena tingkat kemudaratannya sama yaitu sama-sama untuk menyelamatkan diri(nyawa) atau yang dikenal dengan (hifzh al-nafs) dalam maqashid al-syariah.

Lain halnya apabila orang yang dalam keadaan kelaparan hampir mati mengambil harta atau buah-buahan di kebun orang lain demi untuk menyelamatkan diri, maka hal ini dibolehkan. Karena kemudaratan membiarkan diri mati (hifh al- nafs) lebih tinggi derajatnya dibanding kemudaratan mengambil harta orang lain (hizh al-mal). Meskipun sudah tentu apabila dia sudah selamat dari kematiannya, diwajibkan mengganti harta yang telah dia makan. Mirip dengan contoh ini adalah ijtihad Umar bin Khattab yang tidak memotong tangan pencuri yang mencuri harta orang lain pada masa kelaparan yang sangat berat.

2.      Apabila dalam menghilangkan kemudaratan menimbulakan kemudaratan lain yang lebih besar atau lebih tinggi tingkatannya.

Contohnya : dilarang melarikan diri dari peperangan karena semata-mata untuk menyelamatkan diri. Alasannya, karena kalah dalam peperangan lebih besar mudaratnya daripada menyelamatkan diri sendiri. Selain itu, dalam peperangan, hukum yang berlaku sesuai dengan Al-Qur’an, “fa yaqtuluuna wa yaqtuluuna” (Q.S at- Taubah: 111) (membunuh atau dibunuh/to kill or to be killed). Jadi terbunuh dalam peperangan adalah risiko, hanya bagi mukmin ada nilai tambah yaitu mati syahid apabila terbunuh dalam peperangan.

3.      Dalam menghilangkan kemudaratan, dilarang melampaui batas dan betul-betul tidak ada jalan kecuali melakukan perbuatan yang dilarang itulah satu-satunya jalan. Seperti menyelamatkan diri dari kematian, terpaksa makan makanan yang haram. Itupun dilakukan hanya sekadarnya agar tidak mati. Harus diusahakan dahulu jalan lain yang dibolehkan, kecuali apabila tidak ada lagi alternative, maka itulah satu-satunya jalan.

Peperangan itu adalah suatu kemudaratan, Islam yang cinta damai, tidak mau memulai perang sebelum ada yang terbunuh. Apabila telah ada yang terbunuh, mayatnya ditampakkan kepada musuh dan dikatakan kepada mereka, “Tidak adakah jalan yang lebih baik dari ini ?”.[6] Ini semua adalah upaya dalam menghindari kemudaratan.

D.    Cabang Kaidah La Dharara Wa La Dhira ra

Kaidah-kaidah yang merupakan cabang dari kaidah “al-dharar yuzal”, antara lain :

1.                                                                اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ

Kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”

Di kalangan ulama ushul, yang dimaksud dengan keadaan dharurat yang memenuhi syarat sebagai berikut :

Pertama, kondisi darurat itu mengancam jiwa dan/atau anggota badan. Hal ini berdasarkan ayat al-quran surat Al-baqarah :177, Al-maidah :105, Al-anam :145, artinya menjaga jiwa (hifzh al-nafsh). Tampaknya, semua hal yang terlarang dalam rangka mempertahankan maqashid al-syariah termasuk kondisi darurat dalam arti apabila hal tersebut tidak dilakukan maka maqasid al-syariah terancam, seperti bolehnya memukul orang yang akan merebut harta milik kita.

Kedua, keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya dalam arti tidak melampaui batas.

Ketiga, tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang.

2.                                                                              الضرورات تقدربقادره

           " Keadaan darurat, ukurannya ditentukan menurut kadar kedaruratannya”

مَااُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ يُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا

“Apa yang dibolehkan karena darurat diukur sekadar kedaruratannya”

Kedua kaidah diatas sesungguhnya membatasi manusia dalam melakukan yang dilarang karena kondisi darurat. Seperti telah dijelaskan bahwa melakukan yang haram karena darurat tidak boleh melampaui batas, tapi hanya sekadarnya. Contoh: Seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang diobatinya sekadar yang diperlukan untuk pengobatan, itupun apabila tidak ada dokter wanita. Orang yang kelaparan hampir mati hanya boleh makan yang haram sekadar menyelamatkan diri dari kematian, tidak boleh makan sampai kenyang.

3.                                                                ا الضر ريز ال بقد ر الا مكا ن

“Kemudaratan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan”

Tindakan Abu Bakar dalam mengumpulkan Al-qur’an demi terpeliharanya Al-qur’an; usaha damai agar tidak terjadi perang; usaha kebijakan dalam ekonomi agar rakyat tidak kelaparan adalah diantara contoh penerapan kaidah tersebut.

4.                                                                          الضررلايزال باالضرر

“Kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan lagi”

Kaidah ini semakna dengan kaidah:

الضررلايرال بمثله 

“Kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan kemudaratan yang sebanding”

   Maksud dari kaidah itu adalah kemudaratan tidak boleh dihilangkan dengan cara melakukan kemudaratan lain yang sebanding keadaannya. Misalnya, seorang debitor tidak mau membayar utangnya padahal waktu pembayarannya sudah habis. Maka, dalam hal ini tidak boleh kreditor mencari barang debitor sebagai pelunasan terhadap utangnya. Contoh lain seperti orang yang sedang kelaparan tidak boleh mengambil barang orang lain yang juga sedang kelaparan.

5.                                                                                      يحتمل الضررالخاص لاجل الضررالعام  

“Kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan yang bersifat umum”

Contoh penerapan kaidah ini banyak sekali, diantaranya:

a)      Boleh melarang tindakan hukum seseorang yang membahayakan kepentingan umum. Misalnya, memfailitkan suatu perusaan demi menyelamatkan para nasabah.

b)      Menjual barang-barang debitor yang sudah ditahan demi untuk membayar utangnya kepada kreditor.

c)      Menjual barang-barang timbunan dengan cara paksa untuk kepentingan umum.

d)      Boleh memenjarakan orang yang menolak memberikan nafkah kepada orang-orang yang wajib dinafkahinya.

Semakna dengan kaidah ini adalah kaidah:

اِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ اَخَفَّهِمَ

“Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar mudaratnya dengan mengerjakan yang lebih ringan mudaratnya”

Contohnya: dibolehkan seorang dokter mengoperasi wanita yang meninggal sedang mengandung demi menyelamatkan bayi yang masih hidup dalam perutnya. Apabila si ibu masih hidup, maka mengoperasi ibu yang sedang hamil boleh dilakukan meskipun mengakibatkan bayi yang dalam perutnya meninggal. Dalam hal ini, membiarkan si ibu meninggal lebih memudaratkan ketimbang bayi yang ada dalam perutnya .

6.                                                                                  الضررالاشديزال باالضررالاخف

“Kemudaratan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudaratan yang lebih ringan”

Kaidah ini biasanya disingkat:

الاخذ باخف الضررين

“Mengambil yang mudaratnya lebih ringan”

يحتمل الضرراالخاص لد فعالضررالعا

Contohnya: apabila tidak ada yang mau mengajarkan agama, mengajarkan Al-qur’an dan Al-hadis dan ilmu yang berdasarkan agama kecuali digaji, maka boleh menggajinya. Contoh lainnya: sanksi-sanksi yang diterapkan yang berhubungan dengan maksiat (kejahatan) baik berupa sanksi hududqisosdiat, dan tajir, semuanya berkaitan dengan kaidah tersebut.        

7.                                                                                                                                                                                   الضررلايكون قديما                      

“Kemudaratan itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi”

Maksudnya adalah kemudaratan itu harus dihilangkan dan tidak boleh dibiarkan terus berlangsung dengan alasan kemudaratan tersebut telah ada sejak dahulu. Contohnya: boleh melarang dosen yang punya penyakit darah tinggi yang parah untuk mengajar. Larangan ini tidak bisa dibantah dengan alasannya penyakitnya sudah lama. Contoh lainnya: air mengalir ke jalan raya dan sudah lama terjadi, maka air tersebut harus dialirkan ke tempat lain. Singkatnya, meskipun sudah lama terjadi, kemudaratan harus tetap dihilangkan.

8.                                                     الحاجة تنزل منزلة الضرورة عا مة كان اوخاصة             

“Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum maupun khusus”

Al-hajah adalah suatu keadaan yang menghendaki agar seseorang melakukan perbuatan yang tidak menurut hukum yang seharusnya berlaku, karena adanya kesukaran dan kesulitan. Perbedaan antara Al-dharurat dan Al-hajah adalah: pertama, didalam kondisi Al-dharurat, ada bahaya yang muncul. Sedangkan dalam kondisi Al-hajah, yang ada hanyalah kesulitan dan kesukaran dalam pelaksanaan hukum. Kedua, didalam Al-dharurat, yang dilanggar perbuatan yang haram Lidzatihi seperti makan daging babi. Sedangkan dalam Al-hajah, yang dilanggar adalah haram Li ghyrihi

 


Arah Kiblat

Menghadap kiblat adalah termasuk salah satu syarat sahnya salat kecuali dalam dua keadaan, yaitu pada saat sangat ketakutan dan salat Sunnah...